Posts

Showing posts from January, 2015

600 Ribu Bisa Keliling Belitung 4 Hari 3 Malam!

Image
Hei, hei, apa yang kalian pikirkan soal Belitung? Mahal? Jauh? Eits, ternyata, Belitung itu enggak mahal sama sekali! Nggak percaya? Buktinya, nih, saya ke Belitung empat hari tiga malam 'cuma' menghabiskan 600 ribuan aja, lo! Ongkos segitu saya keluarkan selama di Belitung, sudah termasuk makan, penginapan, transportasi, dan biaya tiket masuk tempat wisata. Semuanya dibagi berempat. Tentunya, nggak termasuk tiket pesawat dan airport tax PP SUB-CGK, PP CGK-TJQ, serta oleh-oleh. Barangkali kalian tertarik, berikut tujuan dan tetek bengek kami selama di Belitung. Day 1 Travel dari Bandara Hanandjoeddin-Hotel Surya 25.000 Hotel Surya @ 50.000 x 3 hari =150.000 Tiket wisata Kawasan Hutan Konservasi Batu Mentas 10.000 Makan siang di Mi Atep Belitung dan 2 gelas es teh 23.000 Sewa motor perhari 60.000 (x2 dibagi berdua) = 60.000 Bensin 1 liter 8.000/ 2 = 4.000 Tiket masuk Tanjung Pendam 2.000 Ngopi malam gang enam puluh 3.000 Air mineral 1,5 liter dan biskui

Primata Langka Dunia Ada di Belitung

Image
Coba tebak, apa yang unik dari Belitung, selain budaya ngopi? Kata Iwan, teman saya asli Belitung, yang unik dari Belitung adalah Tarsius di Batu Mentas. Apa coba Tarsius ? Adalah Tarsius bancanus saltator primata langka di dunia yang hanya ada di Belitung. Keberadaan genus Tarsius di Indonesia sebenarnya ada dua--yang lazim ditemui--yakni di Sulawesi dan Belitung. Bedanya, Tarsius di Sulawesi ukurannya lebih kecil, sementara di Belitung sebesar kepalan tangan orang dewasa. Setidaknya, itu yang dijelaskan Mas Tarmidzi, guide dadakan kami saat datang ke Kawasan Konservasi Hutan Batu Mentas, Badau, Belitung Barat, kemarin. Tarsius memiliki fisik yang hampir sama dengan primata lain. Bedanya, dia adalah hewan nocturnal yang aktif di malam hari. Tetapi, saat kami ke sana , Tarsius jantan tidak sedang tidur. Malah matanya terbuka lebar-lebar. Ini yang membuatnya tampak lucu. Badannya kecil, matanya selebar piring. Serangga menjadi makanan pokoknya. Di Kawasan Konservasi H

Mencicip Budaya Ngopi Warga Belitung

Image
Bicara Belitung, tentu kita ingat cerita novel dan film laris Laskar Pelangi. Tapi, apa yang tenar dari pulau yang dikenal memiliki latar pantai ciamik soro itu? Ngopi! Ya, Belitung bukan hanya soal pantai. Ngopi juga. Belum sehari di Belitung, saya sudah mencicip budaya asik warga lokal. Saya dan tiga teman mencoba gaul dengan ngopi. Setelah cuti ngopi lima bulan, akhirnya... saya ngopi juga. Asik banget! Budaya ngopi di Belitung ternyata sudah mengakar. Apa-apa hampir selalu ada di warung kopi. Maksudnya, semua pembicaraan baik kecil maupun berita heboh pasti diramu di warung kopi. Malam ini, kami ngopi asik di warung kopi legendaris di pusat kota Belitung, Tanjung Pandan. Tepatnya di Jalan Sriwijaya gang 60. Tempatnya nyempil sekali, tapi warga lokal yang nongkrong asik banget. Umumnya bapak-bapak berumur yang kerap menghabiskan malam sambil nongkrong. Salah satu pengunjung yang saya temui adalah Pak Muhammad. Di warung Koh A Tiam, kami berbincang cukup panjang. Mulai dari riway

Sabtu Pagi di Candi Gedong Songo

Image
  Hijaunya Kompleks Percandian Langit masih gelap saat bus antar kota antar provinsi melaju pelan. Terminal Solo pagi itu tidak sunyi. Belasan tukang ojek menawarkan jasa. Tidak tampak layu di wajahnya. Hanya harapan jasanya laris di pagi buta. Bahkan, pagi sebelum ayam berkokok. Saya bukan satu-satunya penumpang yang turun dari bus dan mendapatkan tawaran mereka. Namun, saya menolak. Saya butuh toilet dan bus menuju Bawen, Semarang. Tidak ada bus pagi buta pukul 3.15. Menunggu subuh di musalla adalah rencana awal saya. Bis menuju Bawen, Semarang megah sekali. Bagaimana tidak? Hanya 15.000 rupiah, saya bisa naik bis kelas ekskutif, ber-AC, dan empuk plus nyaman. Mirip sedang berdarmawisata. Bis pertama sekitar pukul 4.30. Jalanan Solo-Semarang Sabtu pagi lengang luar biasa. Mungkin masih terlalu pagi atau mungkin memang sepi. Yang jelas, saya menyukainya.   The twin brother, Sindoro-Sumbing   Sekitar 90 menit perjalanan, saya tiba di Terminal Bawen, Semarang. Tujuan

Me Time: Pijat Refleksi yang Menenangkan

Image
Kurang tahu sejak kapan pastinya, hampir setiap minggu saya punya kebiasaan menyendiri. Bahasa gaulnya, me time. Nggak melulu harus backpacking ke luar kota, me time saya di sekitar rumah. Misalnya, berenang, jogging, nyalon, dan belanja. Standar banget. Tapi, beberapa kali saya mencoba me time lain. Yaitu, refleksi. Refleksi dan sakit. Dua hal yang membuat saya sering nyengir nggak jelas. Dulu, beberapa kali saya refleksi di sekitar East Coast Pakuwon City. Tempatnya oke banget. Cahaya temaram, wewangian aromaterapi menenangkan, terapis ramah, dan bisa memilih jenis minyak yang dibalur. Sebelum refleksi, pengunjung diberi pilihan minuman jamu segar. Lalu saat refleksi, pilihan minuman bersifat lebih menghangatkan tubuh seperti cokelat, jahe, dan sebagainya. Tempatnya cozy parah. Sayang, saya lupa nama tempatnya. Yang jelas, tempat refleksinya selalu ramai dan bangunannya menyatu dengan apotek sekaligus praktek dokter. Lama nggak refleksi, kemarin saya mencoba tempat reflek

Menjemput Mentari di Punthuk Setumbu

Image
    Menjemput mentari di Punthuk Setumbu  Minggu pagi itu menjadi hari berbeda bagi saya. Beberapa jam saya terlelap tidak sadar diri di rumah Mbak Endah. Pagi sekitar pukul 3.30 saya bangun bersiap menjemput matahari di Bukit Punthuk Setumbu. Perlu waktu 30 menit dari rumah Mbak Endah untuk sampai ke Punthuk Setumbu yang berada di Kabupaten Magelang. Udara subuh, jalanan lengang, kecepatan motor tinggi, membuat saya cukup menggigil. Magelang subuh sepi. Bukit Punthuk Setumbu merupakan   lokasi perbukitan yang jaraknya berkisar lima kilometer dari Candi Borobudur. Tempat ini menjadi alternatif wisatawan yang ingin menyaksikan matahari terbit dengan latar magis Candi Borobudur. Lokasinya dekat, biaya murah, dan pemandangannya bagus—meski kata sebagian besar weblog, pemandangan matahari terbit dari Candi Borobudur tetap paling memukau. Tapi bagi saya, di Punthuk Setumbu sudah cukup. Sebab hanya berbiaya 15.000 rupiah, pemandangan apik sudah bisa memanjakan mata.   S

29 Years a Go...

Image
  29 tahun   15 Januari. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan ayah dan ibu. Tidak lagi muda, 29 tahun. Tidak ada perayaan khusus selain tiup lilin dan pengajian peringatan maulid nabi. Ya, memang 29 tahun lalu ayah sama ibu menikah bertepatan dengan perayaan maulid, sih. Saya enggak ngerti harus bilang apa. Yang jelas, saya merasa senang dengan perayaan hari jadi ayah dan ibu kali ini. Senang sekali. Terharu karena beliau sudah lebih dari seperempat abad bersama. Saya tahu itu sama sekali nggak mudah. Apalagi punya anak seperti saya. Wah, jangan dikira! Sering, kalau saya sedang sendiri, suka kepikiran masa lalu beliau berdua. Sedih tapi juga senang. Sedih begitu tahu masa kecil mereka. Senang begitu keduanya bersama-sama memulai kehidupan berkeluarga dengan sederhana dan nggak pernah muluk-muluk. Yang penting bersyukur. Pahit, susah, sedih, jatuh bangun mereka sering membuat saya banyak bersyukur. Ayah seorang karyawan BUMN bidang kontraktor yang sampai sekarang mas

Metamorfase

Image
  Flat shoes di pantai aneh? Ah, enggak juga Sejak menjadi jurnalis, saya merasa banyak berubah. Salah satu hal yang paling kentara adalah: fast moving. Menjadi jurnalis membuat saya harus cepat berpindah dari satu tempat ke tempat lain seusai apa yang diinginkan sudah didapat. Jika tidak, saya pasti bosan. Bosan terlalu lama di tempat yang sama. Target minimal dua berita sehari juga membuat saya mau tak mau harus cepat berpindah sebelum hari habis. Setiap hari merasa demikian, saya akhirnya menerapkan konsep yang sama ketika bepergian, dulu. Kala bepergian, saya kerap bosan jika saya sudah berada di satu tempat dalam waktu lama. Itulah sebab, saya selalu menarget sehari di kota wisata harus mampir ke beberapa tempat. Ya, hasilnya memang capek tapi rasanya senang dan puas. Sama halnya jika saya sudah mendapat dua berita sehari. Tetapi, seperti ada yang berbeda. Semakin lama dan semakin sering berjalan--apalagi jika sendiri--saya justru merasa semakin menikmati perjalanan, buka

One Day Trip di Sumenep

Image
Awal November lalu, saya pergi ke Sumenep bersama teman baru. Rencana ini super mendadak dipicu oleh teman yang mau pulang kampung ke Pamekasan. Tanpa rencana, saya pun nyeletuk, "Gimana kalau aku main ke rumahmu? Atau yang lain mau ikutan juga?" tak disangka, tak dinyana, lima teman lain langsung setuju. Inisiator yang baik yaa :)). Kami berangkat Sabtu sore selepas saya dan Mas Yudi kerja, sementara Silvi tes CPNS. Saya dijemput di kantor dan langsung menuju Pulau Garam melewati Jembatan Suramadu. Rencananya, kami akan menginap di rumah Silvi, sedangkan keluarga Mas Yudi di hotel *yaa iyalah, tahu diri :p*. Minggu pagi, kami bersiap menuju Sumenep. Sebenarnya, kami mau ke Gili Labak, namun batal dengan pertimbangan Mas Yudi membawa bocah berusia dua tahun. Kasihan kalau harus terombang-ambing di lautan. Akhirnya, kami memutuskan untuk ke seputar Sumenep. Jarak rumah Silvi dan Sumenep sekira satu jam. Sebelum benar-benar ke Sumenep, kami menjemput pemandu, dua teman Si