Berkawan Senja Tanjung Pendam
Mangrove Tanjung Pendam
Entah sejak kapan pastinya, saya menyukai senja dan fajar. Bagi
saya, keduanya memiliki arti yang menyenangkan. Fajar selalu berarti cita-cita
kembali ada. Sementara senja adalah saat perenungan.
Senja itu, saya menghabiskan waktu di satu pantai di tengah
kota Tanjungpandan,Belitung. Pantai Tanjung Pendam, namanya. Letaknya persis di
tengah kota. Dekat sekali dengan hotel kami. Bahkan kami bisa mencapainya
dengan jalan kaki, jika mau.Butuh 2.000 rupiah perorang jika ingin masuk kawasan Pantai Tanjung Pendam.
Menunggu senja
Sekilas, Tanjung Pendam mirip dengan Pantai Kenjeran di
Surabaya. Tapi tidak kotor. Suasananya ramai. Banyak warga lokal yang menghabiskan
waktu di sini sekadar bersantai. Laut sedang surut. Tumben saja, tentu.
Lanskap Tanjung Pendam meski ramai, amat syahdu. Ada beberapa
pohon mangrove di sisi tengah. Seperti favorit para fotografer yang berlalu
lalang di Instagram. Tepian plengsengan dibuat jauh dari bibir pantai. Mungkin,
saat pasang tiba, air bisa sampai sana. Tapi bagi saya, terlalu jauh menunggu senja
tidak nikmat.
Liburan warga lokal
Di sekitar bibir pantai, riuh semakin kentara. Anak, bapak,
dan ibu-ibu satu persatu menyunggingkan senyum. Ada pula yang berjongkok sambil
membawa keranjang dan plastik.
“Cari kerang,” salah satu ibu yang berjongkok menjawab pertanyaan
saya.
Kerang dari kelas bivalvia adalah salah satu kekayaan yang
dipunya Belitung. Siapa saja yang ingin memasak kerang sebagai lauk, bisa
mengambilnya gratis di bibir pantai. Berjongkok, melangkah maju, mengerahkan
tangan berisi kayu atau gelas plastik kecil, dan mengorek pasir. Akan ada banyak sekali kerang. Sulit
bagi saya mencontohkan apa yang mereka lakukan.
“Sulit ya, Bu? Kok saya nggak dapat-dapat,” ujar saya sambil terkekeh.
Mencari kerang untuk lauk
Para pencari kerang
Warga sekitar Tanjung Pendam punya cara unik untuk menghabiskan hari. Salah satunya memang mencari kerang. Kerang yang didapat amat banyak. Sekitar satu kilogram. Menariknya, para pencari kerang bukan hanya ibu-ibu. Tapi juga bapak, anak, dan remaja. Di sini, tidak ada gengsi bagi remaja untuk membaur mencari kerang. Beda dengan remaja perkotaan.
Yang lebih menyenangkan, remaja bermata sipit ada di dalamnya.
Di sini, lekat sekali dengan toleransi antarsuku. Tidak ada perbedaan. Apapun warna
kulitnya dan seberapa lebar matanya. Mereka rukun.
Ibu pencari kerang menuturkan, cara memasak kerang amatlah
sederhana. “Hanya pakai garam direbus dengan air. Lalu dimakan dengan nasi hangat. Gurih, kok.”
Saya
tersenyum. Seandainya posisi sedang bekerja atau solo backpacking,
tentu saya bisa meminta izin untuk tahu cara memasak kerang.
Remaja mencari kerang
Kerang
Senja selalu punya cerita. Senja yang saya lewatkan di
Tanjung Pendam ini amat menarik. Melihat lebih dekat kebiasaan warga lokal. Menilik
kerukunan antarsuku persis seperti saat bertandang ke warung kopi gang 60.
Senja menyuguhkan beragam cerita. Selalu. Itulah alasan saya
selalu menyukainya. Menyukai senja di kota lain.
Senja kali ini, saya belajar untuk lebih menghargai orang. Belajar menghargai etnis lain yang berbeda. Sebab, Indonesia amatlah kaya ragam budaya.
Senja cantik Tanjung Pendam
Comments