Senja dalam Elegi
Say
something I’m giving up on you...
Senja, begitu biasa
namaku dipanggil. Aku lahir kala hari mulai memburam, menjelang malam. Tak lain
juga, kedua orang tuaku menyukai waktu senja—membuat namaku benar-benar Senja. Seperti
mereka, aku juga tamat dengan senja. Waktu senja selalu membuatku lebih hidup. Semua
hal yang kulakukan kala pagi, terkumpul dalam satu elegi. Aku selalu menyukai
senja. Apalagi kala menghirup aroma pasir pantai yang menguar, diiringi deburan
ombak kecil. Riuh yang menenangkan. Seperti senja ini.
Semua berkumpul menjadi
satu. Jingga berpacu waktu bergabung dengan gumpalan kapas awan. Tari-tarian
masa lalu seolah reuni dalam pikiran. Sementara degup jantung berlarian. Senja ini
adalah pelarian kali kesekian. Membuatku bosan dengan ingar bingar. Selalu
rindu kala surya memudar.
Pasir putih pantai seolah
tahu apa yang berkelebat bergantian. Kepalaku tengah sesak. Kenangan masa lalu
mengudara saling merusak. Silih berganti harum pantai dengan menyan dari Pura
Batu Bolong, tak jauh dari tempatku duduk. Mereka mulai turun, seiring matahari
yang meredup, hilang. Perkakas disunggih, gelak tawa menyertai.
“Langit sudah gelap,
sampai kapan mau menyendiri, Senja?”
Namanya Langit, dia
yang paling tahu isi kepala juga hatiku senja ini. Dia juga yang paling tahu 27
tahun kebiasaanku sepanjang hidup. Termasuk gundah yang sedang berkejaran dengan
waktu.
Aku hanya diam. Tanpa ekspresi,
masih menatap pantai. Hari sudah menjelma malam. Tak ada cahaya di sekitar
Senggigi. Hanya kedai jagung bakar di tepian yang mulai ramai. Satu persatu mereka
datang, menikmati syahdunya nyanyian ombak bergulung pelan. Apa kubilang,
pantai selalu tenang.
“Mungkin bukan aku yang
kamu butuhkan saat ini. Tapi aku selalu ada di sepanjang kamu membutuhkan teman
untuk bercerita,” Langit duduk di sisiku. Membiarkanku tenggelam dalam lamunan.
Kami sama diam. Menanggalkan
ego masing-masing. Langit selalu paham apa kata senja. Memahami kala banyak
orang mengutuk senja datang seiring sisa waktu yang menipis. Langit tahu, senja
tak selalu disuka.
Kepalaku mulai terasa
sesak dengan kenangan. Kini semua berkumpul di pelupuk mata. Sekuat hati aku
menahannya, agar tak jatuh dalam perih yang kian menjadi. Langit, seperti biasa
hanya diam ketika aku masih bungkam. Tapi dia selalu menungguku. Apapun yang
senja lakukan, selalu saja langit tahu.
“Senja selalu punya
cara untuk mendongeng tentang kisahnya, kan?” nada suara pelan bercampur getar
keluar. Sebisanya kutahan agar terlihat tegar.
Ombak berlarian ke
tepi, di malam yang seharusnya sunyi dengan dirinya sendiri. Langit tak lagi gelap,
bintang bertabur baur satu-dua. Bulan di ujung tak sempurna menambah terang
pada malam yang harusnya bahagia.
Nyanyian dan petikan
gitar pengunjung kedai jagung samar terdengar. Hari sudah malam, sementara aku
masih membisu.
“Seharusnya hari ini
aku bahagia dengan caraku. Bukan duduk di sini melarung kenangan,”
Pepatah menyebutkan
diam adalah emas. Begitu saja Langit berlaku. Dia diam namun tak mati. Hanya menunggu
dongeng yang tak kunjung usai kuceritakan.
Tapi Langit tidak dungu.
Dia lebih dari sekadar tahu isi hatiku.
Pandanganku mengudara
menutupnya dengan hati. Menghirup angin malam dalam-dalam. Membuangnya pelan-pelan.
“Dia hadir dan pergi
tanpa bisa dikendalikan. Apa begitu laki-laki yang kamu katakan baik untuk
hidupmu?”
Sisa waktuku hanya
sedikit. Mungkin tak sampai sepenggal galah. Napas yang kubuang bisa saja candu
nikmat Tuhan yang paling akhir. Langit bahkan tahu kapan aku harus berhenti
menyesali masa lalu.
Langit akan selalu sama
dimanapun aku ada. Menaburkan bintang kala gelap. Memberikan warna kala jalanan
penuh derap.
***
Di puncak kota Batu, Bintang
berpadu Bulan. Meninggalkan senja yang larut pada langit.
Say
something I’m giving up on you,
I’ll
be the one if you want me too...
*ditulis karena rindu senja saat pagi. Juga rindu bercengkrama dengan imaji.
Comments