Mencermati Polah Buaya Darat di Pulau Komodo

Dermaga Pulau Komodo

Perairan Flores sedang kacau. Berkali-kali terpal harus diturunkan menutupi bagian kapal. Menghindari percikan air laut tumpah ke geladak. Rupanya, ini juga didukung dengan angin laut yang kencang. Cuaca panas, memang. Tapi sepertinya dua hal di atas sudah terbiasa berlalu lalang di perairan lepas Suku Bajo. Berkali-kali pula penumpangnya harus rela melantai berlindung di balik bangku. Ombak tinggi. Dua-tiga meter.

"Ini belum seberapa, Mbak." Anak buah kapal bertutur kencang. Deru mesin kapal membuat komunikasi kami harus saling teriak.

Penumpangnya terkekeh, mempererat jaket masing-masing. Anginnya buruk.

"Mbak, kita nanti ambil jalur pendek saja ya. Ombak jelek." Kali ini Sang Kapten berteriak. Lalu diamini oleh dua pelanggannya.

Terserah Bapak sajalah. Batin mereka.

Ombak semakin menjadi, tak peduli kapal tengah mencoba melepas jangkar. Menggoncang kapal tak tahu diri. Sementara penumpangnya terhuyung-huyung getir. Satu di antaranya tertawa.

"Ini kenapa begini, Pak? Kita bisa loncat langsung nggak?" Tanyanya sambil tertawa.

"Woooh, hati-hati, Mbak." Si ABK ikut tertawa. Namanya Harman, masih muda, humoris, penurut, dan hormat pada orang tua.

Biru...
Inilah Pulau Komodo. Bagian paling inti dari Taman Nasional Pulau Komodo. Tujuan penting wisatawan dari segala penjuru dunia. Melihat langsung naga raksasa dari dekat. Mengilhami kehidupan saling bersisian antara manusia dan Sang Naga. Bagian pembuktian dari kitab suci para pencari pelajaran hidup; Lonely Planet. Betapa pulau ini begitu diagungkan.

"Buat apa ke Komodo dan Rinca? Itu buaya darat, hewan tiduran saja, kan? Tidak bagus itu."

Dua orang. Saya bertemu dua orang yang berkata demikian. Betul juga. Tapi rasa penasaran makhluk bertitel manusia memang kadang aneh. Aneh yang masuk akal. Nggak melulu salah juga. Buaya darat adalah sebutan mereka menyebut Si Naga, sebuah konotasi bagi kami, di Pulau Jawa, berarti negatif.

"Mbak, beneran ya, kita short trek saja. Ombak tidak bagus." Sang Kapten kapal kembali mengingatkan yang langsung dijawab anggukan oleh kami.

Briefing singkat bareng Richardo

Loh Liang dan Loh Buaya adalah dua tempat berbeda di pulau yang sama sekali tidak sama. Jika memulai perjalanan di Pulau Komodo, maka berangkat dari Loh Liang. Sementara jika dari Pulau Rinca, maka berangkat dari Loh Buaya.

Sebelum memulai treking, ranger akan melakukan briefing sejenak. Menjelaskan tata cara atau antisipasi jika kondisi darurat mengintai (misal: dikejar komodo), tujuan atau rute (short, medium, dan long trek), dan larangan yang tidak boleh dilakukan selama treking. Ranger kami bernama Richardo, Suku Bajo, asli Kampung Komodo. 

Kami tidak punya pilihan lain selain memilih short trek. Hanya satu pertimbangannya; mengikuti perintah Sang Kapten atau tidak kembali hingga esok hari. Sesimpel itu jika hidup bersisian dengan alam, memang. 

Richard menuturkan, buaya darat tidak hanya ada di Pulau Komodo dan Rinca. Tapi juga di Pulau Padar, Gili Motang, dan Nusa Kode. Tapi saat kami ke Pulau Padar, bisa dikatakan tidak ada komodo. Pak Ibrahim, Sang Kapitein nan baik hati juga bilang begitu. Tapi, tergantung siapa yang kalian percaya. 

Treking tipis-tipis

Ada beda nyata antara Pulau Komodo dan Rinca. Kabar dari Richard, habitat komodo di Pulau Rinca berupa padang savannah. Sementara Pulau Komodo lebih banyak pepohonan. Kalau kabar dari kawan saya, Rinca lebih asyik. Padanan warna hijau pohon dan birunya langit terlihat eksotis. 

Tongkat bercabang di ujung menjadi pegangan sehari-hari bagi para ranger. Berguna untuk mengecoh komodo saat mengejar mangsa. Kenapa tongkatnya bercabang di ujung?

"Karena pasti komodonya mikir, ini kok ada lidah raksasa, makhluknya sebesar apa?" Begitu jawaban Richard, menyamakan lidah komodo yang bercabang dengan tongkat--yang juga bercabang:)).

Richard bilang, kalau dikejar komodo, sebaiknya lari zig-zag. Sebab, komodo nggak bisa belok. Nggak punya lampu sein:)).

Di sekitar Pulau Komodo, banyak ditemukan rusa. Itu untuk makan komodo sebulan sekali. Gimana kalau populasi rusa atau hewan lain habis?

"Ya kami tinggal kasih wisatawan sebagai mangsa." Richard menjawab sambil ketawa bahagia. Sialan:))).

Jalur treking

Sepanjang perjalanan, kami banyak bicara tentang cerita turis yang hilang ditelan komodo. Kata sang ranger, rasa penasaran turis asing jauh melebihi warga lokal. Itu bisa dilihat dari peringatan yang banyak tidak diacuhkan. Kalau sudah diserang, baru mereka lari pontang-panting. Gimana nggak pontang-panting, kecepatan gerakan komodo bisa sampai 20 kilometer perjam. Komodo juga bisa memanjat pohon, perenang yang baik, dan petarung hebat. Komodo juga memiliki air liur yang beracun mengandung 60 jenis bakteri, gigi dan cakarnya tajam, indra penciumannya hingga lima kilometer, ditambah tubuhnya raksasa.

Manusia bisa apa? Cukup berdoa saja dalam hati.

Fregata Hill

Pilihan short trek, bagi saya yang biasa jalan kaki, adalah pilihan buruk. Di dalam jadwal yang diberikan, short trek bisa ditempuh dalam waktu 45 menit. Namun nyatanya, 15 menit saja juga bisa kembali ke start point. Nggak seru. Sekilo juga nggak sampai.

Jalur yang dipilih nggak menantang. Hanya jalan kaki biasa, melewati Fregata Hill, lalu ke bagian dapur umum atau tempat mangkalnya komodo mencari makanan. Yang saya tahu, short trek 45 menit itu jika dihitung dengan antre pose foto di belakang komodo di dapur. Antrenya lumayan lama. Banyak wisatawan asing mampir. 

Jadi, saran saya, mending ambil long trek sekalian. Bisa puas jalan kaki 1,5 jam dan potret-potret. Kan, sayang, sudah bayar mahal tapi cuma sebentar.

 

Buaya daratnya rebahan cantik

Mangsa empuk

Di daerah dapur, siang itu, sekira ada tiga buaya yang sedang rebahan. Pepagian mereka berjemur di Fregata Hill. Komodo termasuk hewan berdarah panas. Berjemur memungkinkan pencernaan mereka bekerja lebih baik. Sebab, mangsa yang telah dimakan, harus segera dihancurkan dengan bantuan sinar matahari. Jika tidak, mangsa tersebut akan membusuk lalu meracuni si kadal raksasa.

Kapan lagi foto bareng buaya darat?:))

Populasi komodo kabarnya terus menyusut. Padahal, di Kebun Binatang Surabaya, koleksi komodo amat sering bertelur. Amat sering mati juga. Itulah sebab, komodo di Taman Nasional Komodo menjadi satu-satunya warisan dunia yang berisi makhluk zaman purba dan harus dijaga kelestariannya. Kasihan juga kalau anak cucu kita nggak bisa menikmati keindahan negeri sendiri. Yuk, jadi wisatawan bertanggungjawab.

Komodo bukan komedi, apalagi komedo

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan