Tempat Ramah Itu Bernama Labuan Bajo
Pesawat ATR terbang rendah
Banyak orang bilang jika tanah Flores berisi masyarakat yang amat ramah.
Meski bertampang lebih garang, berkulit lebih gelap, tapi hati mereka amat baik. Ini dilihat dari senyum yang tulus.
Saat di sana, saya membuktikan hal itu.
Sabtu pagi di Bandara Ngurah Rai, Bali. Seorang wanita bernama Ibu Maria berkisah banyak hal. Tentang Labuan Bajo, tempat yang dalam kurun waktu dua jam ke depan akan saya singgahi. Banyak hal yang beliau tuturkan. Tentang adat, kebiasaan, lingkungan, dan kearifan lokalnya.
Kami baru bertemu pagi itu. Tapi kami sudah akrab. Bercerita banyak hal. Termasuk alasan saya berkunjung ke tanah Manggarai Barat.
"Labuan Bajo itu cantik, Mbak. Tapi kami masih kesulitan air bersih. Setiap dua hari sekali tandon kami diisi oleh truk pengangkut air. Dari Ruteng (daerah pegunungan di Kabupaten Manggarai). Dua minggu ini kami juga sering kena lampu mati. Masih syukur kalau cuma 30 menit. Ini sudah berjam-jam."
Saya mengangkat alis. "Oh ya? Saya pikir PLN hanya bermasalah di tanah Jawa dan Sumatera. NTT juga ya? Kalau air selalu beli tiap dua hari sekali, berarti mandinya irit dong, Bu?"
Bu Maria terus bercerita banyak sekali. "Di sana juga apa-apa mahal, Mbak. Pantaslah kalau tidak banyak turis yang mau ke sana. Kecuali turis asing ya. Cuma, sekarang agak ramai. Ya itu, gara-gara Sailing Komodo tahun 2013."
Saya pikir perbincangan kami amatlah seru. Mengorek tempat yang akan memberi kejutan. Siapa yang menolak, heh?
"Kalau Mbak tidak percaya, nanti buktikan ya. Di Labuan Bajo cuma ada dua SPBU dan itu pasti antre. Tapi tidak usah khawatir, karena ada banyak penjual di tepi-tepi jalan."
Antre di SPBU 20-25 menit
Sampai di Bandara Labuan Bajo, beberapa siswa sekolah menyambut wisatawan dengan senyuman lebar selepas pesawat landing. "Selamat pagi di Labuan Bajo." begitu sapa mereka.
Well, saya terkejut bercampur senang. First impression di tanah Flores begitu ramah. Mereka juga menyapa setiap turis yang mau ke toilet.
"Bapak, kalau saya mau ke pelabuhan, bisa jalan kaki ya?" saya bertanya pada seorang petugas bandara Labuan Bajo.
Satu hal yang sama, di depan bandara yang tengah dibangun megah, banyak sekali pengojek dan sopir taksi yang menawarkan jasa. Mahal. Tentu saja. Mereka membanderol jasa mulai 30.000 rupiah. Padahal jarak bandara ke pelabuhan Labuan Bajo tak kurang dari 15 menit berkendara.
Petugas bandara dan seorang polisi menyapa terlebih dulu dengan senyuman. Ya ampun, mereka ini betul ramah dan murah senyum.
"Mbak mau jalan kaki ke bawah (pelabuhan)? Aduh, itu jauh. Mbak naik ojek saja. Mereka ini ojek. Tapi mahal. Mbak kalau mau murah bisa di luar bandara. Irit."
Mereka nggak bohong.
Saya mendapatkan ojek 5.000 rupiah saja. Plus keramahan sopir ojek yang mau ngobrol banyak dengan saya. Bercerita macam-macam tentang Labuan Bajo. Dan menawarkan berhenti di great point pelabuhan untuk berfoto.
"Kita berhenti dulu ya, Mbak. Mbak mau saya fotokan?"
Saya melongo campur girang. Astaga! Mereka ini ramah.
Pelabuhan Labuan Bajo
"Tolong saya diturunkan di persewaan motor ya, Bang," pinta saya pada tukang ojek yang langsung diamini.
Saya berhenti di Pippos Rental dengan pelayanan yang nggak kalah ramah. Seusai transaksi, saya melanjutkan untuk mencari penginapan. Sejatinya, ada banyak sekali penginapan murah di sini. Saya nyaris menjatuhkan pilihan pada penginapan transit para nelayan yang hanya 60.000 rupiah untuk berdua permalam.
Sayang (atau senang?), warga lokal terlanjur bilang, "Tapi kami tidak sediakan kipas angin, Mbak"
"Memangnya kalau malam, di sini panas ya, Bu?"
"Tidak menentu, Mbak."
Saya gambling dan memilih untuk angkat kaki. Saya takut kepanasan:)). Poinnya, mereka juga jujur.
Setelah akhirnya memilih penginapan tipe bunk bed, saya berputar di sekitar Labuan Bajo sambil menunggu teman landing. Tapi, coba, deh, siapa yang mau kecelakaan di tanah orang? Terlebih di kedatangan pertama, sesaat setelah landing?
Saya kecelakaan motor selepas menjemput teman dari bandara. Padahal penampilan saya sudah menarik perhatian warga lokal, loh. Pakai helm, buff, jaket, sarung tangan, dan kaus kaki. Berasa di perkotaan banget:)).
Saya dan teman jatuh di daerah dekat Pantai Waecicu, pantai yang hingga kini saya belum pernah tahu bentuknya. Celana di bagian lutut--dan kulit lututnya-- sobek. Punggung kaki saya juga. Celana saya berceceran darah. Pikiran saya kala itu satu, "Aduh, gagal liburan,"
Tapi teman saya lebih parah. Dia nyaris pingsan gegara luka di kepala dan tangannya mengucur darah segar. Saya keder. Mampus... Apa kabar motor sewaan yang langsung mati mesin dan lecet sana-sini? Aduh, alamat tagihan membengkak.
Tak lama, kami ditolong warga lokal. Ada sekira sepuluh orang menolong kami. "Eh? Jatuhkah, Mbak? Bagaimana cerita?"
Saya yang masih sadar pun bercerita. Sementara teman saya memeluk seorang wanita, dia limbung, pusing parah, nyaris pingsan.
"Maukah diantar ke rumah sakit (puskesmas), Mbak? Dekat saja."
Kami berangkat sendiri akhirnya. Meski masih trauma dengan jalanan berpasir. Di tengah jalan, kami bertanya jalan ke arah puskesmas, pada dua orang sekaligus. Dan mereka mengantar kami sampai di depan pintu. Poinnya, mereka ini suka menolong.
Tak peduli dengan siapa mereka bersua. Hanya satu yang ada di pikiran mereka. Jika wisatawan ramah, kami ramah. Jika mereka abai, kami abai.
Saya dan Pak Ibrahim
Namanya Pak Ibrahim. Kami bertemu kali pertama di Kampung Ujung. Pak Ibrahim adalah kapten kapal kami--yang ternyata luar biasa baik, ramah, dan humoris. Karena bertemu Pak Ibrahim inilah saya seolah bertekad akan kembali berkunjung ke tanah Manggarai Barat demi bertemu beliau.
Pak Ibrahim berusia 49 tahun. Beristri satu, beranak dua. Anaknya mahasiswa kebidanan di Mataram. Satu lagi di Makassar.
Pak Ibrahim pernah bilang, "Kami tidak peduli, Mbak, sama wisatawan. Bukan kami tidak suka. Selama mereka tidak mengganggu dan tidak peduli dengan kami. Kenapa kami harus peduli?"
"Terserah, turis mau tidak pakai baju, kami tidak keberatan karena toh mereka tidak peduli dengan kami." Masuk akal ya. Saya juga nggak peduli kok kalau ada turis salto sekalipun. Kan, nggak ngefek sama saya. Haha.
Pak Ibrahim dibantu oleh Harman, anak buah kapal yang baru lulus SMA. Sama ramah. Saya sampai terharu. Banyak kisah yang saya dapat dari mereka. Seperti bagaimana seharusnya anak bersikap pada orang tua.
"Terserah, turis mau tidak pakai baju, kami tidak keberatan karena toh mereka tidak peduli dengan kami." Masuk akal ya. Saya juga nggak peduli kok kalau ada turis salto sekalipun. Kan, nggak ngefek sama saya. Haha.
Pak Ibrahim dibantu oleh Harman, anak buah kapal yang baru lulus SMA. Sama ramah. Saya sampai terharu. Banyak kisah yang saya dapat dari mereka. Seperti bagaimana seharusnya anak bersikap pada orang tua.
Harman bilang, "Saya kan hanya anak, tidak ada uang. Ikut sajalah apa kata orang tua. Mau apalagi?"
Saya terharu mendengarnya. Apalah saya ini punya hobi protes sana-sini ke orang tua. Sementara lelaki berusia 17 tahun itu berpikir demikian. Jleb.
Pak Ahmad, ayah Harman--yang kebetulan bertemu di Pulau Bidadari--bertutur, "Harman mau daftar pegawai bandara. Ada dua saudara di sana. Baru setelah ada tabungan, dia mau sekolah ke Jogja. Jurusan IT karena dia SMK IT. Tidak mungkinlah orang tua membiarkan anaknya susah. Biar saja orang tua, kami ini, yang bekerja seperti ini."
Aduh... Saya jadi sedih. Mereka tidak bermain drama.
Pak Ibrahim dan Harman tak bosan membantu kami. Mengajak kami bercerita banyak hal tentang Labuan Bajo. Tentang Suku Bajo, suku pelaut handal yang menguasai wilayah pelabuhan. Sampai sekarang, saya masih kangen dan ingin bertemu mereka. Ada banyak hal yang ingin saya bagi dan banyak hal yang ingin saya minta--berupa cerita-cerita lokal.
Pak Ibrahim dan Harman
Itu hanya sebagian dari keramahan Labuan Bajo, tempat yang ingin saya singgahi lagi suatu waktu nanti. Semakin banyak bertemu orang baru, saya semakin memahami, bahwa karakter tidak bisa dilihat dari sekadar warna kulit. Tapi bagaimana hati yang tulus memberikan senyum dan sikap yang bersahabat. Pada semua orang.
Comments