Wedding Purpose?
Film favorit: UP! (source: deviantart.net)
Bagi sebagian besar makhluk
penyuka buku, bazaar buku adalah sesuatu yang paling ditunggu. Murah dan banyak
pilihan. Meski, lebih sering buku yang dijajar adalah buku lawas yang dicetak
ulang dalam sampul baru. Tidak mengapa. Toh, buku yang terpenting adalah
isinya. Mengajak berkelana pembacanya. Jauh di bawah alam sadar. Membaurkan dengan
realita.
Tara, wanita berusia dua puluh
delapan tahun, siang itu hadir di pesta buku. Dia sudah mengidamkan momen
tersebut sejak mendapatkan leaflet satu bulan kemarin. Dia butuh banyak buku di
saat suntuk. Saat harus bertemu banyak klien dengan karakter ajaib dan banyak
mau. Sejujurnya, dia sudah jengah dengan karir yang sudah ditapak sejak enam
tahun lalu. Karir yang melambungkan namanya sebagai public relations head di
perusahaan multinasional.
Berkeliaran di tengah tumpukan
buku dianggapnya sebagai terapi sekaligus wisata kebatinan. Meski, dia dan dua temannya
lebih sering mengolok judul buku yang menggelikan. Misalnya, buku yang
berjudul, Menikah untuk Bahagia.
“Nggak nikah juga udah bahagia,”
dia tertawa diiringi tawa Gadis dan Jaka, teman dekatnya.
Nggak berlebihan. Realistis saja.
Tara sudah mapan. Dia bisa bebas membeli apa saja. Berkeliaran semaunya. Traveling,
belanja, bertemu banyak orang baru, sudah biasa. Toh, bahagia bisa didapat dari
mana saja. Tanpa menikah sekalipun.
Apatis, kadang.
Bukan hal baru bagi wanita
seusianya mencemooh buku-buku bertema pernikahan. Dia tidak membutuhkan teori
yang dianggap berlebihan. Hanya butuh praktek. Memangnya betul, menikah
menjamin kehidupan sesudahnya bahagia? Bagaimana dengan persiapan yang
super-ruwet? Bagaimana jika dia bercerai? Bagaimana jika dia menjadi melarat
sesaat setelah menikah? Dan bagaimana-bagaimana lain yang semestinya tidak
perlu ditakutkan.
Teorinya, sih, begitu.
Tapi kenyataannya, Tara masih
sering bertanya, apa tujuan menikah?
Rak-rak buku ditata rapi sesuai
dengan kriteria. Satu persatu buku dibaca sinopsisnya. Berkali-kali wanita
berambut sebahu itu tersenyum. Sesekali alisnya tertaut. Langkahnya bergeser ke
rak lain dan langsung terhenti ketika sebuah balon menyentuh kakinya. Pandangannya
beralih seketika. Refleks. Seorang gadis mungil berambut ikal tersenyum lebar. Matanya
membulat. Giginya putih bersih dan teratur. Usianya sekira empat tahun.
“Hei, ini balon siapa?” Tara berjongkok,
mengambil balon, bertanya pada gadis kecil yang berdiri tak jauh darinya. Senyumnya
mengembang demi melihat mata bulat si gadis imut. Nalurinya sebagai calon ibu
tumbuh. Dia tidak pernah membenci anak-anak, meski pertanyaan tujuan menikah
sering menggema di lorong kecil hatinya. Dia menyukai anak-anak, sama seperti
dia menyukai buku.
Gadis itu tertawa. “Balonku, Tante,”
sahutnya riang sambil mengacungkan tangan. Dua jepit rambut berbentuk pita naik
turun, mengikuti irama anggukan kepala si gadis.
Tara, wanita yang masih
mempertanyakan tujuan menikah itu masih tersenyum. Tatapannya menerawang
menembus manik mata gadis di depannya.
Jika menikah, aku bisa membangun keluarga baru. Berkompromi dengan
watak orang yang bisa jadi sama sekali berbeda denganku. Berkomitmen membesarkan
anak dengan cara yang berbeda seperti orang tua mengasuhku. Mendapatkan kejutan-kejutan
kecil dari masing-masing anggota keluarga. Melakukan apapun demi keluarga. Tapi,
apakah itu jaminan kebahagiaan setelah menikah? Bagaimana jika bercerai? Bagaimana
jika tidak punya anak? Bagaimana jika dapat suami ringan tangan? Bagaimana jika seorang pecandu narkoba? Pembunuh? Atau sadomasokis? Aduh!
Tara mengerjap. Berapa lama dia
melamun di depan si gadis? Tiga detik? Bisa jadi lebih lama dari itu.
“Namamu siapa, Sayang?” Tara
menyerahkan balon berwarna oranye pada gadis kecil lucu. Satu tangannya mencubit
gemas pipi gembul si gadis bermata indah.
“Kejora, Tante! Kata mama, kejora
seperti bintang. Indah!” si gadis berceloteh menggemaskan. Tara seketika
tertawa renyah. Apakah ini bahagia? Melihat
anak dalam pengasuhan tangan sendiri, berceloteh menggemaskan, lalu tumbuh
menjadi anak yang hebat, bahkan superior barangkali. Ini arti bahagia?
Bukan kali ini saja Tara bertanya
pada diri sendiri. Dia sejujurnya terlalu takut dengan masa depannya. Masa depan
yang sebenarnya dijanjikan Allah lebih baik dalam koridor pernikahan. Tapi dia
meragu. Ragu pada janji Tuhannya. Apalagi setelah melihat kasus perceraian
beberapa temannya. Perceraian yang membuat temannya lebih terlunta. Anaknya terlantar.
Ayahnya entah kemana. Sementara ibu—teman Tara—memilih menghabiskan banyak
waktu bersama teman-temannya. Bersenang-senang, melupakan gejolak keretakan
rumah tangga. Tidak hanya satu contohnya. Tara menghitung, ada sekira
empat-lima kasus berbeda berkaitan dengan pernikahan yang goyah lalu karam.
Sementara kedua mata di depannya
mengerjap-kerjap. “Terima kasih, Tante. Kejora pulang dulu ya,”
Astaga! Dia baru saja melamun
lagi. Tara gemas pada dirinya sendiri. Merutuki betapa bebal dia membiarkan pikirannya
berlalu lalang liar.
“Kamu ke sini sama siapa, Kejora?”
Kejora mengacungkan telunjuknya. “Sama...”
matanya mencari-cari sosok yang dia kenal. “Itu, Om, Tante.”
Tara mendongak demi melihat orang
yang ditunjuk Kejora. Laki-laki tiga-empat tahun di atasnya, barangkali,
berjalan ke arahnya. Senyum lelaki itu tersungging.
“Terima kasih ya. Kami pamit
dulu.”
Sebelum keduanya betul-betul
pulang, Tara menyempatkan untuk ber-high
five dengan Kejora. Berjanji suatu saat pasti bertemu lagi.
Sepeninggalnya, Tara tidak
sepenuhnya pulih. Tidak langsung mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang kian
hari semakin kencang berlarian di kepalanya. Namun, dia tahu, apa yang bisa
menjadi jawaban atas segala tanya.
Langkahnya berbalik, mendekati
kedua teman yang masih sibuk memilih buku. Tangannya terjulur pada salah satu tumpukan
buku berjudul Menikah untuk Bahagia. Buku
yang seketika membuat tawa kedua temannya meledak.
“Merasa kurang bahagia hidupnya,
Buuu?” ledek Gadis diiringi tawa berderai Jaka.
Barangkali jawaban atas
pertanyaan ada di buku itu. Barangkali jawaban atas segala kegundahan hati yang
mencapai batas jenuh ada di dalamnya. Barangkali juga Sang Pembolak-balik Rasa mulai
menggerakkan hati untuk teguh dan percaya pada janji-Nya.
Barangkali. Hanya Tuhan yang
tahu.
Comments