A Photograph
SABANG! Source: anakbackpacker.wordpress.com
Main atrium salah satu mal di Surabaya Pusat sore
itu lengang. Jarum jam baru lepas dari angka empat. Butuh waktu sekira tiga
puluh sampai enam puluh menit untuk membuat suasana mal itu ramai, dominasi
para pekerja belanja di awal bulan. Tak selengang mal, jauh di dasar hati
seorang pengunjung pameran foto, ada dentuman meledak-ledak seiring dengan
tatapan yang tak lepas dari frame di depannya.
Seorang wanita tersenyum menikmati bisikan angin
yang berhembus. Kain tenun Ende di tangan dibentangkan. Matanya tertutup seolah
ingin menunjukkan dia tengah menikmati syahdunya alam Flores di pagi hari.
Sementara rambut ekor kudanya dibiarkan terbang mengikuti arah angin. Di
belakangnya, tiga danau paling tersohor di dunia terbentang. Diambil dengan
action camera, fotografer nyata mempertontonkan percampuran kecantikan alam
Indonesia Timur dengan salah satu makhluk ciptaan Tuhan. Pemandangan Danau
Kelimutu dan seorang wanita muda dijepret wide angle, tampak betul sesuai
dengan tagline Kementrian Pariwisata, Pesona Indonesia.
Seorang wanita sendiri, di Danau Kelimutu pagi
hari, tersenyum menikmati sajian alam yang diberikan begitu saja oleh Tuhan.
Runa menggigit bibir, itu foto dirinya. Tepatnya
pada saat overland dari Labuan Bajo sampai Alor selama dua minggu. Tapi siapa
pelakunya? Siapa yang telah mengambil potret dirinya sampai bisa mendapatkan
juara? Rasa-rasanya Abe nggak mungkin, dia tidak punya sense of photography.
Kalau Reka bisa jadi. Tapi dia nggak punya lensa wide buat motret. Lagipula
saat itu dia hanya bawa lensa kit.
Runa menerka-nerka. Hatinya tentu saja melambung
menjadi objek foto ciamik yang pemenangnya berhak atas hadiah winner tour ke
Sabang. Tapi pikirannya lebih jalang, penasaran dengan subjek di balik kamera.
Saking penasarannya, dia mengabaikan foto miliknya yang entah apakah juga
meraih predikat juara. Baginya, mencari tahu Sang Fotografer lebih menarik
dibandingkan harus menemui panitia untuk memastikan dirinya memenangi lomba
atau tidak.
Kala itu, pukul lima pagi, mentari belum sepenuhnya
tampak. Sementara Runa, Abe, dan Reka sudah sampai di puncak pendakian untuk
melihat Kelimutu lebih dekat, dua puluh menit sebelumnya. Hari masih pagi, sekeliling
danau tiga warna didominasi wisatawan luar negeri yang bersiap dengan tripod
tertata sedemikian rupa. Menunggu sunrise tiba. Turis lokal hanya tampak
satu-dua saja. Tidak ramai karena bukan hari libur. Tapi bagi ketiga sahabat,
Ende, tepatnya di Kelimutu, pagi itu semarak.
Rona kemerahan saat golden hour
menampilkan eksotisme rasa tersendiri. Runa, tentu saja amat cantik. Bukan karena
dia sudah berdandan di pagi buta. Justru dengan wajah tanpa balutan make up,
khas baru bangun tidur dan bau iler, tampak lebih natural. Rambut ekor kudanya
diikat berantakan. Kausnya oranye dengan lengan dilipat. Kacamata hitam
dibiarkan menggantung di depan dada. Tangannya sibuk di antara kain tenun yang
baru dibeli dan kamera mirrorless warna cokelat, berpose. Senyumnya terkembang
amat lebar. “Ka, lagi dong. Buat ava Whatsapp, nih.”
Memang, Runa penasaran setengah mati. Matanya tak
berkedip sekalipun mencermati setiap detil warna yang didapat dalam frame di
depannya. Sempurna.
We keep this love in a photograph. We made
these memories for ourselves. Where our eyes are never closing. Hearts were never broken. Time's forever frozen still.
Jemari
Runa menyusuri bingkai pigura yang membungkus rapi foto pemenang ajang fotografi
paling bergengsi yang digelar Kemenpar. Rasa hangat menjalar perlahan dalam
hati. Tak dimungkiri, dia terpikat oleh foto diri sendiri dalam bidikan orang
lain. Apalagi menjadi juara. Betapa menyenangkan menjadi objek foto candid.
“Agak aneh kalau ada
seseorang melihat foto diri sendiri dalam diam dan waktu yang cukup lama,” seorang
lelaki berdiri di sisi Runa. Penampilannya rapi. Rambutnya ikal tersisir
teratur. Matanya dibingkai kacamata berframe hitam tebal. Pakaiannya kaus
bertumpuk kemeja flanel cokelat beradu hitam dan abu. Kancing kemeja sengaja
dibiarkan terbuka menyisakan tulisan less money, travel more di kaus
putih. Sebelah tangannya masuk ke dalam saku celana jeans. Jeans biru
pudar sepadan dengan sepatu seri Converse lawas warna putih yang sudah bulukan.
Santai. “Kecuali kalau dia terobsesi pada diri sendiri, sih,” lanjutnya
datar.
Sialan. Runa
tidak sertamerta menengok ke samping. Dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk
memastikan si lelaki memang bicara padanya. Kurang sopan betul lelaki tak
dikenal yang menyebut dirinya terobsesi pada diri sendiri. Narsis, begitu?
“Ah,
tapi aku nggak menyangka kalau fotomu ini bisa juara,” lelaki itu masih bicara.
Lebih tepatnya bicara sendiri karena Runa tidak meladeni. Wajar saja Runa
begitu. Lelaki itu bicara sambil menatap bingkai pigura dengan foto bertajuk Mixing You tanpa menengok ke arah Runa. Runa
menebak kalau lelaki itu bukan lelaki yang bisa menghargai lawan bicaranya.
“Juna. Namaku Arjuna,” wajah si lelaki menengok
ke arah Runa. Senyumnya terkembang lebar menampilkan deretan giginya yang rapi
dan putih.
Bukan
perokok. Sial. Runa mendengus dalam hati saat tahu dia memerhatikan senyum
lelaki di sisinya. Radarnya otomatis mendeteksi lelaki tampan, seberantakan
apapun penampilannya, yang tidak merokok. Kebiasaan yang tidak selalu buruk.
"Indonesia Timur memang selalu seksi. Bukan begitu?”
Juna masih tersenyum. Kepalanya dimiringkan meminta persetujuan.
Runa melirik sekilas lalu mengangguk pelan.
Kalau boleh Runa merutuk, lelaki di sisinya sebetulnya
memesona. Sejatinya dia tidak tampan. Hanya menarik. Dia bisa mengatur
penampilan hingga tampak memikat. Bukankah memang teori dasar tampil rapi
begitu? Juna bukan tipikal laki-laki metroseksual yang dandy dan repot dengan
segala bentuk perawatan. Dia hanya peduli dengan tubuhnya. Jarang ada lelaki
begitu.
Dalam jarak tak lebih dari satu meter, Runa
bahkan mencium wangi parfum maskulin milik si lelaki. Sialan. Lagi-lagi Runa
merutuk. Jangan bilang kalau lelaki ini yang mendapatkan foto candidnya. Dia membatin.
Antara senang dan khawatir. Khawatir terbuai.
Demi segala hal yang dirasa sudah di luar kendali
akal sehat, Runa membuka suara. Tangannya terulur menyalami Juna. Mengalihkan aliran
darah di sekujur pembuluh yang terasa mulai menderas. “Aruna.”
Ada sedikit kejut di wajah Juna yang buru-buru
ditepis, menggantinya dengan senyum. Tidak ada percakapan setelahnya. Keduanya hanya
sibuk dengan pikiran masing-masing. Juna kaku, Runa malu-malu.
Lima menit dalam diam, Juna membuka suara. “Pemenang
lomba ini dapat winner tour ke Sabang minggu depan.” Siapa yang tidak tahu? Tentu
saja semua peserta lomba Pesona Flores itu tahu apa yang menjadi hadiah
utamanya. Tiket jalan-jalan ke Sabang berikut akomodasi lengkap selama empat
hari. Berlaku untuk tiga orang pemenang.
Runa menggigit bibir. Dia bahkan lupa dengan
kabar fotonya. Menampilkan segerombolan anak Suku Bajo menyelam mengenakan kacamata buatan sendiri sambil membawa
bubu. Foto yang diambil setengah mati dan berkali-kali di perairan Alor. Dia baru belajar free
diving dan nekat berkali-kali naik ke permukaan demi bisa mendapatkan foto dengan
hasil yang minimal mendapat pujian dari juri.
“Kayaknya Tuhan tahu kalau kita punya nasib yang
sama.” Juna memecah senyap di antara mereka. Sementara Runa menatapnya dengan
tatapan tanpa ekspresi.
“Sampai bertemu di Sabang, Aruna. Kupikir kita
akan bisa banyak ngobrol di sana.” Wajah Juna lebih semringah, paham jika apa
yang dikatakan menjadi kejutan bagi wanita di depannya.
Runa terperangah. Ini bukan akhir yang lebih dari
dia inginkan tapi butuhkan.
So you can keep me, inside the pocket of your ripped jeans. Holding me closer till our eyes meet. You won't ever be alone. Wait for me to come home.
Credit to: Ed Sheeran-Photograph; a Photoghrapher.
Comments