Apa Kabar, Jakarta?

Apa kabar, Jakarta?
Aku berharap kamu masih selalu baik
Sama seperti sepuluh tahun lalu
Saat aku kali pertama mengenalmu
Tentang perkenalan yang tiba-tiba
Pagi itu, ayahku menontonmu dari sekotak benda magis
Yang orang menyebutnya televisi
Pagi itu, ibuku memotong berita yang tersiar
Tentang kamu, Jakarta
Ibuku bilang, "Jakarta seperti apa, sih, Yah?"
Ayahku menjawab, "Mau diajak pergi ke Jakarta?"
Aku yang sedang menyapu lantai tertawa mendengarnya
Mau apa memangnya ke Jakarta?
"Ayah serius. Kalau mau, nanti malam kita naik kereta biar besok pagi dijemput Mas,"
Begitulah awalnya aku mengenalmu
Begitu tiba-tiba, bukan?
Begitulah ayahku yang memang kalau kurang kerjaan suka mencari cara agar tampak sibuk
Sepuluh tahun lalu aku mengenalmu, Jakarta
Kota yang disebut sebagai Ibu Kota negaraku
Yang disebut sebagai kota sumpek dan ruwet dengan tata kota berantakan
Ayolah, siapa yang tidak mengenalmu?
Kota yang dianggap sebagai kota penghidupan bagi sebagian penduduk di negeriku
Kota yang belum mampu menjadi pelabuhan hatiku
Setelah itu, setelah sepuluh tahun, aku kembali
Melihatmu dari jauh
Seputar bandara saja
Tempat bertemu dan melepas rasa rindu para perantau
Kala itu, tak kutemukan binar bahagia di matamu, Jakarta
Kamu sudah cukup lelah dengan hidupmu sendiri tampaknya
Begitu memusingkan dengan beragam jenis manusia
Tapi tunggu dulu, bukankah memang begitu esensi hidup bersosial?
Ya, kecuali jika kamu makhluk asosial yang hanya sibuk dengan gadgetmu
Jakarta, kupikir setelah pertemuan itu aku tidak akan menemuimu lagi
Kuharap, sih, begitu
Tapi apa mau dikata?
Tuhan berkehendak lain
Aku masih saja berjumpa denganmu
Yang membawa deru mesin kendaraan bermotor dimana-mana
Di hampir sepanjang hari
24 jam sehari 7 hari seminggu
Tentu saja, sesekali disertai umpatan bajingan dan brengsek di jalanan
Yang keluar dari mulut siapa saja yang berpacu dengan waktu
Tapi kau tahu, Jakarta?
Dengan hiruk pikuk sedemikian rupa kamu masih saja bergeming
Tidak pernah kamu peduli dengan huru-hara golongan berpeci
Golongan yang dianggap menistakan agama
Golongan anak muda high class yang rela makan di tempat mahal demi sebuah kata prestis
Atau golongan rendahan yang hidup di kolong jembatan
Hei, Jakarta, kau tahu?
Usiamu tak lagi muda
Sudah 489 tahun
Ya, meskipun jauh lebih muda dari kotaku yang sudah 723 tahun, sih
Tapi, ayolah Jakarta, kenapa harus diam, sih, jika bersuara bisa lebih bijak dalam menyelesaikan masalah
Kau tahu? Jutaan orang bergantung padamu
Jutaan orang pula masih mengira hidup di tempatmu masih menguntungkan
Lalu kenapa kamu masih diam?
Seperti seorang bujangan yang menunggu mantannya kembali dalam diam?
Kamu lucu!
Ah, sudahlah, Jakarta
Aku mendadak pusing
Tapi lucunya, meski aku pusing memikirkan kamu
Aku masih suka kamu
Suka sama sunrisemu yang merah merona
Sunrise yang bisa kunikmati dari kamarku di lantai sebelas
Jadi, bagaimanapun kamu, Jakarta
Ketahuilah kalau kamu tidak selalu menyebalkan
Masih ada juga sedikit yang membuatku jatuh cinta
Sedikit saja
Selebihnya tidak.
Comments