Sebuah Rasa: Meruang Rindu
As a memory
“Jadi, sekarang dia pilot? Garuda? Seriously?”
Rara menatapku tak percaya. Mulutnya terbuka lebar dengan
mata membelalak. Baru saja aku bercerita tentang masa laluku. Seorang pria yang
juga kakak tingkat kami saat masih duduk di bangku SMA.
Melihat ekspresi kawanku itu, aku tersenyum mantap. Antara bangga
dan—aku tidak tahu perasaan apa ini. Cukup menceritakan kisah lelaki itu aku
sudah bahagia. Jelas, ekspresiku berbeda ketika aku harus menceritakan lelaki yang
tengah dekat denganku saat ini.
Kalau kata Rusydi, kawanku dari klub fotografi, aku tipikal
orang yang nyaman dengan masa lalu meskipun kenyataannya pahit. Menurut Rusydi,
hasil dari ilmu grafologi yang sedikit dia kuasai, sih, begitu. Aku sendiri
tidak yakin. Tapi juga tidak menyangkalnya karena terkadang aku memang begitu. Entahlah.
“Serius, dari zaman kita sekolah, dia charming abis. Dia selalu punya sisi yang selalu menonjol
dibandingkan orang lain,” Rara masih tidak percaya dengan ceritaku. Tapi juga
mengakui kalau lelaki di masa laluku itu memang tiada dua. Nggak akan ada yang
menandingi! Pantaslah kalau aku bisa cinta mati padanya.
Tanpa sadar mulutku masih mengulum senyum, refleksi jika
hatiku sedang berbunga-bunga. Aku masih menyimpan rasa padanya. Ya, tidak salah
lagi. Pada lelaki itu. Yang kutemui tiga belas tahun lalu di salah satu sudut
sekolah kami.
Pikiranku melesat jauh di angkasa, mencari-cari iring-iringan
nostalgi yang telah lama kukubur bersama waktu dan kesibukan.
***
Kami mematung tepat di depan rumah yang tidak bisa dikatakan
kecil. Sebuah rumah bertingkat bergaya modern kontemporer. Di teras rumah tersebut
ada motor gede Harley Davidson berwarna hitam yang kutahu itu miliknya. Kerongkonganku
seketika kering melihat apa yang ada di depan mata. Sementara pikiranku
melayang-layang menemani hati yang terus membuncah. Semakin tak karuan
pikiranku begitu seorang laki-laki muda keluar dari rumah dan melihat kami
berdiri sambil bengong.
We’re trapped!
Aku tidak tahu bagaimana mulanya bisa mengajak ketiga
temanku untuk menghampiri rumah lelakiku, pujaanku. Yang aku ingat, kala itu sepulang sekolah, kami masih berseragam
putih abu pulang lebih cepat. Hanya karena ingin nongkrong lebih lama maka
timbulah ide. Iseng-iseng mencari alamat rumah lelaki itu. Dan, di sinilah kami
berada. Di depan rumah Beni, lelaki impianku, sekaligus tepat berada di depan
matanya. Sebelah tanganku kuangkat, menyapanya dari jarak kurang dari lima
puluh meter. Senyum termanis kulempar untuknya.
***
“Ekspresimu beda sekali ketika bercerita tentang Beni dan...”
Rara menghentikan komentarnya. Sungguh aku tidak tahu pastinya kenapa dia
begitu peduli padaku bahkan sejak kami duduk di bangku SMP. “siapa nama lelakimu
sekarang?” lanjutnya.
“Raka,” kujawab pendek. Entah kenapa aku menjadi gagu jika
mulai membahas nama yang kusebut baru saja ini. Aku kurang respek tapi aku juga
butuh. Katakan semacam candu? Ah, tidak juga.
Kalau sudah begitu, Rara mulai bermain filosofi, seperti yang sudah-sudah, dan
selalu kusuka. Tipikal kawanku ini logis abis. Dia jarang sekali menggunakan
perasaan jika tengah duduk denganku. Selalu logika yang digunakan untuk mengimbangi aku yang terlalu banyak memainkan sisi feminin.
Kedua tanganya bersedekap sementara matanya menunjukkan
ekspresi serius. “Katakan padaku, Na, apa yang kamu harapkan darinya?”
Ck, aku benci pertanyaan itu. Berulang-ulang kukatakan
padanya, aku benci ditanya dengan pertanyaan kurang berbobot. Lebih-lebih
pertanyaan itu menuntutku harus menjawab dengan cepat, taktis, dan tepat. Sialan.
Ya, kalau boleh aku memilih,aku memang begitu dan mungkin
akan selalu begitu. Mengharapkan Beni kembali tanpa peduli dengan statusnya
saat ini. Aku begitu nyaman dengannya. Banyak hal yang bisa kutumpahkan
padanya. Cerita tentang mimpi kami, keseharian kami, mengejek teman dan
menertawakan guru, lelucon di sekolah yang tidak ada habisnya. Asal kalian
tahu, setelah insiden aku datang ke rumahnya itu, aku dan Beni menjadi dekat. Walaupun
tanpa status. Bagiku, itu sudah lebih daripada cukup. Aku menyukainya, nyaman
dengannya, dan selalu memikirkannya. Adakah yang kurang?
Aku menggeleng, melepas senyum tak rela. “Salahkah kalau aku
mengharapkan Beni kembali? Meskipun statusnya begitu?” lidahku kelu. Sungguh aku
tak suka dengan momen ini. Aku begitu mencintainya, melebihi cintaku pada lelaki
yang untuk saat ini hanya kuanggap sebagai kakak, Raka.
Senyum Rara terkembang. Kepalanya digelengan kuat-kuat. “I know you always make a big deal. No matter
kinda careless, shameless, or whatever you thought about him. I do care about
you, Na,” Rara menatapku tajam. Ada binar serius di tengah senyumnya yang
mengembang.
Rara masih seperti dulu. Masih suka meyakinkan aku yang
mudah diliputi rasa cemas dan panik. Aku suka berkawan, bersahabat
dengannya. Lebih suka lagi ketika dia benar-benar meluangkan waktunya untukku,
mengesampingkan keluarganya sejenak, hanya untuk meladeni mendengar ceritaku. Ah,
betapa kuyakin keluarga kecilnya akan menyenangkan dengan kehadirannya.
Aku mendesah cukup panjang. Selalu begini. Ada banyak
pikiran kalut berkecamuk. Aku menyukai Beni. Lelaki masa lalu yang kutahu sudah
berkeluarga. Anaknya baru satu, laki-laki mungil yang tampan dan lucu. Wanita itu,
yang beruntung mendapatkan Beni, adalah kakak kelasku sendiri. Betapa aku
sangat yakin keluarga kecil itu sedang dan akan selalu berbahagia. Melupakan aku
yang—ya mungkin bahkan sudah terhapus dari memorinya.
Berbanding terbalik dengan aku yang masih terus mencari-cari
kenangan itu. Ini juga yang membuatku berkali-kali harus gagal menjalin
hubungan. Sewaktu-waktu aku bisa sangat merindu Beni bahkan di saat sedang
bersama kekasihku. Barisan para mantan enggan melihat diri mereka kuduakan. Lebih-lebih
dengan masa lalu yang mustahil aku raih. Kalau aku bilang, sebenarnya mereka
ini pencemburu kronis. Sudah tahu mustahil kugapai masih saja cemburu. Tapi di
sisi lain, aku paham, apa yang aku lakukan amat salah. Itulah yang menyebabkan
sampai saat ini Raka masih bertahan. Karena sepenuh hati aku berusaha menyimpan
rindu untuk Beni dan tidak kukeluarkan di depannya.
“Nothing is impossible,”
jawabku akhirnya. Bukankah memang begitu? Everything
is possible. Beda lagi kalau tidak ada usaha, baru bisa dikatakan tidak
mungkin terjadi. Logis sedikit-lah.
“But you won’t ever try
it, are you?” Kalimat Rara itu membuatku meringis sekaligus teriris. Tentu saja
aku tidak akan pernah melakukannya. Merebut Beni dari istri dan anaknya? Itu bukan
aku. Aku tidak sekejam itu. Serindu-rindunya dengan Beni, aku masih bersikap
wajar. Paling hanya menangis dan menyendiri untuk beberapa waktu. Aku pun lebih
memilih untuk diam dan enggan ditemui Raka jika sudah begitu. Dan, Raka paham
aku butuh waktu untuk berdamai dengan masa lalu.
Aku menghambur memeluk Rara, menangis di dalam dekapannya. Sudah
lebih dari satu dekade aku berpisah dengan Beni. Tapi rindu ini terus
membuncah. Aku pikir ada yang salah dengan hatiku. Mencintai suami orang yang pernah
menjadi kekasihku.
Banyak kasus begitu. Ini juga yang menyebabkan angka perceraian
di Indonesia tinggi. Tapi, salahkah? Tiap-tiap orang memiliki masa lalu,
tergantung bagaimana menghalaunya hadir kembali dan merekah di dalam hati.
Rara menepuk punggungku pelan, menenangkan tangis. “Raka
menunggumu di luar. Pulanglah,”
Dan, percayalah akan ada seseorang yang setia membantumu untuk
melupakan masa lalu.
Comments