Sedikit Cerita dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur
Selamat datang di Pulau Rote
Pulau Rote.
Tidak pernah terbayangkan
sebelumnya jika saya pada akhirnya akan menginjakkan kaki di salah satu pulau
paling luar Indonesia. Namun, semua rencana yang disusun sebulan setelah
menikah mengharuskan saya bertandang ke pulau paling selatan ini.
Kala itu, kami membeli tiket
sebelum tahu saya hamil. Kala itu, rencana saya adalah pergi ke Pulau Semau. Namun,
setelah membaca referensi jika jalanan di sana rusak parah, saya pun berputar
haluan. Takut jabang bayi kenapa-napa. Pilihan lain jatuh ke Atambua, Pulau
Kera, atau Pulau Rote. Pada akhirnya, Pulau Rote menjadi pilihan lantaran pulau
ini istimewa sesuai letak geografisnya. Menjadi bagian dari pulau paling
luar Indonesia, saya jadi penasaran kira-kira seperti apa rupanya.
Tujuan ke Pulau Rote bisa
ditempuh dengan tiga macam kendaraan: pesawat Wings Air, Susi Air, dan Trans
Nusa. Kapal ferry dengan lama perjalanan empat jam dari Pelabuhan Bolok. Dan,
kapal cepat dengan waktu tempuh dua jam dari Pelabuhan Tenau. Kami memilih
kapal cepat seharga 190 ribu rupiah PP (fyi, harga tiket PP lebih murah 30 ribu
rupiah dibanding beli tiket satuan). Kapal cepat menjadi pilihan lantaran
bersandar di pusat kota Rote yang berada di Ba’a. sedangkan kapal ferry berhenti
di pelabuhan Baru yang jaraknya 6 kilometer dari pusat kota Ba’a.
Kapal cepat Express Bahari
Pulau Rote pada kenyataannya
adalah pulau yang sangat ramah. Sekali menginjak beton pelabuhan, segerombol
bocah cilik asli NTT menyapa kami. Wah, sambutan yang menyenangkan. Saya pun
yakin, jika saya akan baik-baik saja di tempat ini.
Anak-anak Pulau Rote
Siang itu sudah pukul 11.30 WITA,
sekira 25 menit lagi waktu salah Jumat tiba. Kami sengaja menunggu waktu di
warung tepat depan masjid yang berada di dekat pelabuhan. Di sana, saya sempat
mencuri dengar obrolan anak sekolah. Yang bikin saya merasa aneh, ada dua-tiga
anak seusia SMP yang tengah belajar mengeja umpatan Bahasa Jawa. Mereka malafalkan
sambil tertawa-tawa. Kok?
Seusai salat Jumatan, masih di warung
sederhana depan masjid, kami berbincang dengan tiga tentara penjaga pulau
perbatasan, yang tengah belanja bahan pokok. Namanya, Pulau Ndana.
Pertokoan di Ba'a
Ya, sejatinya bukan Pulau Rote
yang menjadi bagian terluar Indonesia bagian selatan. Melainkan Pulau Ndana. Tetapi,
pulau tersebut hanya dihuni oleh sekira 20 tentara penjaga. Tidak ada penduduk
sama sekali. Karena hal itulah, Pulau Rote yang dinobatkan sebagai pulau paling
luar. Kedatangan para TNI di Pulau Rote tidak lain adalah belanja logistik tiap
satu minggu sekali. Selebihnya, mereka menghabiskan waktu untuk bermain bola, snorkeling,
diving, dan tentunya menjaga wilayah garis batas NKRI.
Meski tidak ada penduduk, Pulau
Ndana masih bisa menerima kunjungan wisatawan. Namun, harga kapalnya cukup
mahal. Yakni 1,5 juta rupiah menggunakan kapal milik TNI. Tidak ada fasilitas
apapun di Pulau Ndana. Wisatawan yang ingin berkunjung ke Pulau Ndana bisa
mendirikan tenda, membawa logistik lengkap, dan juga alat selam. Salah satu
tentara bercerita jika di Pulau Ndana hanya ada patung Jendral Soedirman dan
bangunan sederhana yang bisa digunakan untuk tidur bagi mereka. Kabarnya, pers dilarang masuk pulau ini karena para TNI parno dengan pemberitaan yang dianggap kerap diselewengkan. Untungnya saya nggak ngaku sebagai jurnalis...
Tentara penjaga perbatasan di Pulau Ndana
Soal penginapan, di Ba’a juga
sudah ada penginapan. Namun jangan mengharapkan hotel berbintang. Sebab kebanyakan
penginapan berbentuk menyerupai kos-kosan jika dibandingkan dengan di Jawa. Harganya
pun bervariasi mulai 100-300 ribu rupiah permalam. Kalau mau yang lebih bagus,
menginap saja di resor milik asing yang dekat dengan Pantai Nembrala. Tentunya bujet
minimal di atas satu juta rupiah.
Penginapan di Rote
Bicara soal transportasi, umumnya
transportasi di sana adalah oto (angkot), ojek, dan sewa mobil. Sewa motor
perhari bisa dihargai 100 ribu rupiah. Sebaiknya, kalian menyewa motor di
persewaan motor karena lebih aman dan terpercaya. Walaupun memang, kebanyakan
tukang ojek juga menawarkan jasa sewa motor (dengan harga sama namun waktu
kurang dari 24 jam).
Resor di Pantai Nembrala, Rote Barat
Yang menarik, di Rote hanya ada
dua SPBU yang tidak setiap hari terisi BBM. Pertamina hanya mengisi setiap
minggu pertama dan ketiga. Itu pun setelah diisi hanya bertahan dua hari. Selebihnya
SPBU tutup. Dua SPBU tersebut milik pengusaha asal Kupang dan Surabaya. Kuota SPBU
milik pengusaha asal Surabaya lebih sedikit dan terbatas, makanya lebih cepat
habis. Sedangkan kuota SPBU milik pengusaha Kupang lebih banyak dan setiap
pembeli tidak dibatasi. Nggak heran,
jika di sepanjang jalan sangat mudah ditemukan penjaja bensin eceran dengan harga
variatif bergantung jarak. Semakin jauh dengan pusat kota, harga bensin eceran
akan lebih mahal.
SPBU di Rote tutup
Rote memang masih didominasi oleh
warga beragama Kristen. Namun jangan khawatir, Rote juga didominasi oleh orang
Jawa Muslim. Bayangpun, sudah di ujung paling selatan Indonesia, ketemunya
orang Jawa juga? Nggak hanya wajahnya yang khas, mereka yang tahu kalau kami
orang Jawa pasti mengajak berbicara dengan Bahasa Jawa :))). Umumnya, orang
Jawa berjualan makanan khas Jawa serupa Nasi Kuning, Nasi Goreng, dan
teman-temannya. Makanya, kami nggak khawatir sama sekali soal makanan. Bahkan yang
asyik, mereka menjual makanan dengan harga murah layaknya di Surabaya. Sebungkus
Nasi Kuning jumbo plus lauk ayam goring hanya dijual 10 ribu rupiah. Nggak terbayangkan
kalau mereka menjual di pulau paling luar Indonesia, kan?
Masjid Tua Rote
Kebutuhan sehari-hari warga Rote
banyak dipasok dari Kupang. Namun, itu tidak menjadikan harga makanan, minuman,
sandang, yang dijual harganya setinggi langit. Mereka menjual dengan harga
wajar. Seolah tidak berada di luar pulau. Dan, saya tidak pernah menjumpai
penduduk yang tidak ramah sekalipun kondisinya jauh berbeda dengan kondisi
perkotaan. Mereka masih murah senyum, ramah, dan sangat mudah menolong.
Sehari-harinya, kebanyakan warga Rote di wilayah pesisir bekerja sebagai nelayan dan pembudidaya rumput laut. Sedangkan yang tinggal di perkotaan umumnya bekerja sebagai pedagang. Mereka hidup bersisian meskipun berbeda suku dan agama. Toh, mereka sama-sama mencari hidup di tanah Rote.
Pembudidaya rumput laut di Rote Barat
Bicara soal Rote tak lepas dari pohon lontar yang melegenda. Dari Rotelah alat musik sasando berasal. Alat musik yang kini mulai terbatas pemainnya. Meski pembuat alat musik sasando sudah terbatas, sasando masih kerap dimainkan di berbagai acara pesta. Bukan lagi dikhususkan untuk acara kerajaan. Sayang, di tempat asalnya sendiri, Rote jarang dimainkan. Pohon lontar pun hanya digunakan untuk bahan pembuat gula aren. Padahal dulunya, sasando juga bisa digunakan untuk ember pembawa air dan sebagai topi saat panas atau pun hujan mendera.
Pohon lontar Rote
Soal pendidikan, banyak sekali
sekolah tersebar di Rote, mulai perkotaan hingga jauh di pelosok Rote Barat
maupun Rote Timur. Kebanyakan sekolah SD Inpres, sedangkan sekolah SMP dan SMA
hanya terletak di Kecamatan. Murid-muridnya pun amat ramah. Kami yang melintasi
jalanan saat jam pulang sekolah pun disapa sambil berteriak, “Selamat siaaaang…!”
kenal juga enggak, tapi mereka menyapa dengan senyuman. Sebuah sapaan yang
jarang ditemukan di Surabaya.
SDN Sotimori di Rote Timur
Berada di perbatasan Indonesia
memang kadang membuat hati miris. Apalagi jika pemerintah mengabaikan
penduduknya. Namun di Rote, saya pikir semua prasangka akan pemerintah
menelantarkan penduduk perbatasan rasanya tidak terjadi. Di bulan kemerdekaan
Indonesia ini bahkan saya menjumpai seluruh rumah dan bangunan menancapkan
tiang bendera merah putih di halaman masing-masing. Keberadaan bandara,
pelabuhan, tiang pemancar telekomunikasi, tidak membuat warga serta-merta
terisolir. Mereka nyatanya masih mengakui jika Indonesia adalah tanah airnya.
Jangan gadaikan NKRI kami
Comments
saya juga pernah kesana waktu dinas di Kupang. Sayang cuma dua hari aja dan masih belum puas