Traveling Goal: Menjadi Ibu Baru
Masih ingat betul ketika tahun 2015-2016 beberapa teman saya (kalau nggak ingin dibilang sombong :p) menyodorkan temannya untuk dikenalkan. Beragam. Ada yang sepantaran, lebih tua, brondong, bahkan duda beranak satu. Saya ngekek aja waktu itu walaupun memang beberapa di antaranya tetap saya coba. Sebab, saya memang belum begitu tertarik untuk menjalin hubungan yang berujung pada pernikahan.
Masih ingat juga ketika saya pada akhirnya mau mencoba berkenalan dengan laki-laki yang saat ini jadi suami. Padahal niat menikah masih jauuuuh di atas angan-angan. Tapi toh laki-laki ini teteup aja ngajak nikah di saat saya benar-benar enggan menikah dalam waktu dekat (1-2 tahun ke depan). Memangnya semua hubungan harus ada muaranya, yakni pernikahan?
Tapi toh, kami nikah juga di awal 2017. Setelah menjalani proses lumayan melelahkan dan menyebalkan (karena saya enggak mau nikah kok ujug-ujug jadi nikah :"))) selama sepuluh bulan.
Pascamenikah, kami tidak ada keinginan untuk menunda kehamilan. Tapi, berharap semoga tidak diberi dalam waktu dekat. Maunya, saya kenalan dulu sama suami biar lebih akrab. Pingin jalan-jalan berdua dulu dengan bujet pas-pasan.
Tapi toh, pada bulan ketiga pernikahan ternyata saya hamil juga. Masa iya sudah diberi amanah harus dihindari?
Awal kehamilan bagi saya adalah momen paling menyedihkan. Saya jadi malas apa-apa. Bau apa sedikit, mual. Apalagi bau suami. Sudah tak terhitung jumlahnya saya harus tidur di ruang tamu demi tidak mencium bau suami--yang saat itu terasa amat menyengat. Saya yang sudah gampang emosi semakin emosional. Gampang sakit kepala, mual, dan sensitifnya masyaallah. Kesentil dikit udah berasap kepala ini.
Belum lagi ketika di usia kehamilan 10 minggu saya divonis terkena hipertiroidisme kehamilan dan percepatan detak jantung di atas 120 kali/detik. Sudah makin emosional lah kondisi saya. Setiap bulan, saya wajib kontrol ke obgyn, internis, dan dokter jantung plus cek lab (TSH-s, FT-4, dan FT-3). Rutin setiap bulan selama delapan bulan.
Ada kondisi dimana saya bosan melihat dokter, benci dengan penyakit yang tiba-tiba datang ini, stres melihat laboratorium untuk ambil darah, makin stres setiap melihat hasil uji laboratorium yang tidak pernah menyenangkan. Kenapa kehamilan pertama ini tidak indah seperti kebanyakan orang?
Menginjak 28 minggu, hasil lab cukup menggembirakan sebab semuanya ada dalam kategori normal. Tapi semua kembali lagi ketika ada di minggu ke-32. Bahkan, saya harus opname dua hari. Minggu ke-33 saya mengalami rembesan ketuban yang membuat obgyn harus lebih intens dalam mengobservasi. Sebab, ada kemungkinan janin akan terpaksa dilahirkan prematur dalam usia 34-35 minggu.
Stres? Jelas. Harus ya bayi saya yang begini? Kelahiran prematur otomatis menyebabkan bayi harus dirawat intensif karena sejumlah organ ada yang belum matang. Perawatannya jelas lebih rumit. Pertanyaannya, sudah siapkah saya?
Enggak.
Di minggu-minggu itu saya konsen menaikkan berat badan janin agar minimal 2,5 kg atau tidak termasuk dalam kategori bayi berat lahir rendah (BBLR). Kalau pun prematur, saya harus mau negosiasi dengan dokter agar dilahirkan di minggu ke-35 agar kemungkinan-kemungkinan tak terduga semakin kecil untuk terjadi.
Tapi Allah berkehendak lain. Janin ternyata masih mampu untuk hidup di rahim hingga minggu ke-37. Dan, di sinilah saya merasa amat lelah. Jantung saya merasa kian berdegup kencang, ndrodog, dan makin mudah lelah.
Akhirnya, dengan konsultasi ke obgyn, internis, dan dokter jantung, saya diizinkan untuk caesar di usia kehamilan 37 minggu 4 hari.
Setelah menentukan hari untuk tindakan, rasanya saya tidak perlu menyesali mengapa saya dan bayi diberi 'keistimewaan' kehamilan. Melihat Aleefah tumbuh sehat dan tidak terkena hipertiroidisme atau hipotiroidisme saja saya sudah amat bersyukur betapa kehamilan kemarin adalah sebuah perjalanan yang tak cukup melelahkan dibandingkan membesarkannya kelak.
Semoga saya sanggup menjadi ibu. Hamasah!
Comments