Cerita Menjadi Orang Dalam Pemantauan Covid-19

Penang

Hari ini adalah hari terakhir saya menjalani masa inkubasi. Sebagai informasi, masa inkubasi saya lakukan karena dalam kurun waktu 14 hari ke belakang, saya baru datang dari Penang, Malaysia, bersama anak dan suami. Tepatnya 7 Maret lalu.

Seharusnya, pada masa inkubasi saya menginkubasi diri sendiri dan keluarga di rumah. Karantina mandiri istilahnya. Tetapi, karena saya harus tetap bekerja, maka solusinya adalah bagaimana caranya saya harus tetap sehat dan tidak menunjukkan gejala demam, batuk, pilek, panas, dan sesak.

Selama satu bulan penuh, tercatat mulai 14 hari sebelum keberangkatan, saya dan keluarga mengkonsumi vitamin C serta sangat menghindari makan makanan dan minuman yang berpotensi membuat peradangan. Simpel, jika radang terjadi, bakteri dan virus akan sangat mudah menginfeksi. Imunitas tubuh menjadi lemah, rentan terkena penyakit.

Saya pun sangat menjaga bagaimana caranya supaya saat traveling ke Penang di tengah corona outbreak tetap aman. Saya tidak pergi sembarangan. Saya punya persiapan.

Masker bedah, masker N95, hand sanitizer, tisu basah, vitamin saya bawa serta. Tujuannya jelas. Jangan sampai ketika di Penang hingga kepulangan di bandara, kami sakit. Naudzubillah.

Persiapan

Tujuh hari masa inkubasi awal Alhamdulillah aman. Kami sekeluarga sehat. Namun, semua menjadi berbeda ketika Elif tiba-tiba batuk setelah makan donat yang dibeli di depan rumah. Malamnya, tanggal 14 Maret, Elif panas 38°C. Saat itu juga saya berencana membawa Elif untuk memeriksakan diri ke crisis centre di RS Universitas Airlangga (RSUA).

Panik? Sedikit. Saya menjaga supaya kami tetap sehat selama masa inkubasi tiba-tiba Elif sakit. Tapi saya berusaha tenang. Saya mengafirmasi diri bahwa Elif tidak kena virus Covid-19. Pasti ada virus lain dan itu bukan corona.

Bukankah sebagai ibu dan hamba Allah positif thinking adalah hal yang wajib?

Di luar daripada itu, saya juga sedikit khawatir karena habis meliput di RSUA dan salah satu kampus yang ternyata pimpinannya habis bertemu dengan Menlu Belanda. Kala itu, Menlu Belanda habis bertemu dengan Menhub yang positif Covid-19. Ya, ada kemungkinan juga saya terpapar.

Esoknya, 15 Maret, saya pergi ke RSUA. Antrian tidak begitu banyak. Tapi antrian berjalan sangat lama. Usut punya usut, tenaga medis yang bertugas meladeni pasien, baik bergejala atau tidak, untuk diedukasi hanya dua. Dan rata-rata yang datang ke crisis centre adalah masyarakat dengan tipikal panik!

Poli khusus RS Universitas Airlangga 

Di sini saya mulai curiga. Saya pikir, Pemkot Surabaya salah menggembor-gemborkan berita pemeriksaan corona gratis. Sebab, sejak pemberitaan itu, masyarakat yang panik, yang hanya sakit batuk pilek tanpa riwayat ke luar negeri dalam kurun waktu 14 hari sebelumnya serta tidak kontak langsung dengan pasien yang positif Covid-19, jadi ikutan periksa. Makin gemes, banyak juga masyarakat yang tidak bergejala apapun yang ikut antre.

Ya Allah... Makanya pemerintah tolong kalau mau rilis kebijakan yang detail gitu, loh. Jangan kayak bola, dibiarkan menggelinding.

Karena sejujurnya, saat Walikota Surabaya Tri Rismaharini kunjungan ke RSUA dan menyatakan akan menanggung seluruh pemeriksaan Covid-19 dengan dana APBD, saya merekam dan meliput. Saat itu tanggal 3 Maret. Namun, di saat bersamaan, saya tanya ke Direktur RSUA, Prof Nasronuddin, kriteria gratis ini untuk siapa? Yang seperti apa? Jawabnya, ternyata belum tahu spesifikasi yang ditawarkan Pemkot Surabaya. Saya pikir, ini pasti akan chaos.

Dan benar. Tanggal 16 Maret, pemeriksaan di Poli Khusus RSUA (crisis centre berubah nama menjadi Poli Khusus) menjadi semakin sesak. Lalu turunlah pernyataan Risma bahwa tes gratis hanya untuk pasien dengan kriteria Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan ber-KTP Surabaya, tanggal 17 Maret.

Long story short, back to Elif case. Pada pemeriksaan awal dengan dokter spesialis penyakit dalam dan spesialis paru, saya menyerahkan tiga bendel form milik kami bertiga, yang masing-masing formnya sangat buanyak! Saya juga menyerahkan kartu kuning (health allert card) yang saya dapat sepulang dari Penang. Tapi meskipun form yang harus diisi buanyak, di situ jelas, ada pertanyaan riwayat perjalanan dan sedang mengidap gejala klinis apa.

Nunggu hasil

Saya dan suami tidak bergejala apapun. Sehat walafiat. Maka, dokter langsung menyatakan diri saya negatif, namun tetap harus karantina mandiri. Istilahnya, kami yang sehat, yang baru pulang dari luar negeri dalam kurun waktu 14 hari menyandang status Orang Dalam Risiko (ODR). Form milik saya dan suami dipisahkan.

Berbeda dengan Elif, dokter langsung menulis Orang Dalam Pemantauan (ODP) Covid-19 di formnya. Saya panik? Alhamdulillah, tidak. Saya masih yakin, Elif bukan kena coronavirus jenis apapun.

Pemeriksaan berlanjut pada foto X-ray yang berguna untuk menunjukkan ada gejala pneumonia atau tidak. Hasilnya negatif. Elif tidak menunjukkan gejala sesak dan pneumonia. Alhamdulillah.

Pemeriksaan selanjutnya adalah cek laboratorium yang berisi cek darah lengkap. Hasilnya, leukosit Elif turun yang menunjukkan ada infeksi virus. Virus ada banyak, termasuk influenza, demam dengue, atau pun virus lain. Jujur, saya tidak khawatir. Karena hasil foto thorax tidak menunjukkan adanya pneumonia, maka saya tenang. Elif tidak perlu melakukan pemeriksaan swab karena syarat uji swab adalah mengalami pneumonia atau sesak napas.

Perawatnya pake baju astronot 

Saya beruntung Elif cepat tertangani meskipun pada 15 Maret itu, saya harus menabahkan diri, menyabarkan hati, karena stand by di RSUA mulai pukul 15.30 sampai 00.30 pemeriksaan baru selesai semua. Saya capek luar biasa, ngantuk, dan pulang dengan perasaan campur aduk.

Karena sebenarnya, yang bikin lama adalah menunggu. Saya bersama pasien ODP dan PDP yang kemungkinan besar saat ini ada yang dinyatakan positif, menunggu tindakan di ruang yang sama karena tenaga medisnya terbatas. Sementara pasiennya banyak.

Saya, yang memiliki sedikit pemahaman terkait besarnya kemungkinan tertular oleh pasien-pasien ini, langsung mengajak suami dan Elif untuk keluar ruang, mencari tempat duduk yang lebih aman.

Karena bayangkan saja, pasien-pasien ini memiliki risiko dinyatakan positif lebih besar. Setidaknya, saat saya menunggu tindakan, ada empat pasien yang masuk ruang isolasi.

Kami pulang dengan status Elif ODP rawat jalan. Yang pada dua kali pemeriksaan lab selanjutnya hasilnya mengarah ke demam dengue. Alhamdulillah, nggak sampai demam berdarah. Alhamdulillah, bukan Covid-19.

Di saat yang kalut itu, saya bersyukur akhirnya Pemred menarik saya dari lapangan. Saya senang karena saya sangat butuh istirahat. Saya butuh waktu untuk menemani Elif sementara waktu. Alhamdulillah.

Main bareng di rumah

Sayangnya, Senin 16 Maret, bola menggelinding liar. Di kalangan wartawan, hoax tersebar. Mereka 'mendiagnosa' saya positif Covid-19 makanya ditarik dari lapangan. Wartawan yang sempat liputan bareng saya pun panik karena tiba-tiba merasakan tanda-tanda sakit dan ingin memeriksakan diri. Wartawan lain justru mengabarkan saya sebagai salah satu pasien yang ditolak mendapatkan perawatan di RSUA.



Gimana?

Di sini saya mulai kesal. Wartawan yang harusnya mengedukasi masyarakat, malah dengan entengnya menyebarkan hoax. Yang bikin semakin kesal adalah tidak sedikit wartawan dan teman yang tiba-tiba menelpon saya, menanyakan kabar, menawarkan bantuan. Are you kidding me? Setelah menyebarkan hoax lalu menawarkan bantuan? Yang bikin makin kesal, habis menyebar hoax lalu gembar-gembor kalau wartawan ada untuk melawan hoax terkait virus corona, hahaha.

Zzz...

Saya kesal setengah mati. Di saat saya butuh istirahat, malah ada hoax seperti ini. Maka jalan yang saya ambil adalah, saya bodo amat dengan pesan atau telepon jenis apapun yang masuk saat saya diliburkan, kecuali dari kantor dan keluarga. I really don't care about them. Bodo amat teman saya mau konfirmasi saya positif atau enggak, mau kirim pesan memelas meminta balasan pesan saya, emang gua pikirin?


Fitnah lebih kejam dari pembunuhan

Saya kembali bekerja hari Kamis, 19 Maret. Saat meliput di acara yang bertemu banyak wartawan, saya mendapati satu-dua mata yang kaget melihat kedatangan saya. Ingin rasanya bertanya, "Kenapa, Mas? Takut tertular?"

Ada juga yang bertanya, "Sudah sembuh?"

Sudah sembuh, your head!

Ada juga yang bilang, "I know what you feel." Hadeh, selama nggak menjadi korban hoax, ya nggak usah sok bersimpati dengan mengucap kalimat itulah. Nggak logis.

Di sini sejujurnya saya miris dengan lingkungan wartawan yang dengan mudahnya menyebarkan hoax. Bahkan hingga tersebar ke luar Surabaya. Padahal, bisa loh, kalau dikenakan UU ITE kalau saya mengajukan.

Tapi yo cek ruwete talah, rek!

Masa inkubasi saya sudah habis. Bukan berarti saya bisa menyatakan diri telah sehat dan akan selalu sehat tanpa harus khawatir tertular Covid-19.

Terima kasih, dok!

Saya hanya mengingatkan, di masa pandemi seperti ini, semuanya menjadi bias. Siapa pun bisa mudah terkena penyakit. Apalagi dengan musim seperti ini. Mobilitas wartawan yang tinggi, bertemu banyak orang membuat himbauan presiden terkait social distancing sangat sulit dilakukan. Beragam penyakit mengintai. Tidak hanya Covid-19, ada demam berdarah yang lebih mematikan.

Kalian, wartawan atau bukan, tidak selayaknya sesumbar merasa sehat. Karena penyakit mengintai siapa saja. Yang diperlukan hanya berikhtiar menjaga imunitas tubuh jangan sampai lemah, berdoa pada Allah semoga selalu diberi kesehatan, dan bertawakkal pasrah sepenuhnya pada-Nya. Saling menguatkan bukan saling meruntuhkan, apalagi saling menuding.

Sama halnya ketika kita memberi dukungan pada tenaga medis. Yang bekerja tak kenal waktu di keadaan seperti ini,  apalagi memikirkan kesehatan pribadi. Jangan sebagai wartawan malah menyudutkan karena minta konfirmasi malah merasa dipingpong. Bisa jadi ybs masih melayani pasien. Sebagai wartawan, dimana etika dan nurani kalian? Masih punya? Atau sudah hilang?

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan