Belajar Bertahan Hidup di Tengah Pandemi Covid-19
Gedung RSKI khusus pasien Covid-19
Jujur, pandemi membuat saya banyak belajar hal baru. Entah tentang keikhlasan, kesabaran, atau mencoba sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Teringat di awal tahun menyambut hari dengan penuh optimisme. Merancang banyak momen kebersamaan. Perlahan surut menjadi sebuah ketakutan, keputusasaan. Namun belajar untuk bertahan menjadi keniscayaan.
Awal Maret Covid 19 kali pertama diumumkan pemerintah. Pengumuman yang terlambat karena sebuah kecerobohan. Penanganan pandemi yang tak logis membuat seluruhnya tampak main-main. Namun gelombang pemutusan hubungan kerja terus menghantam.
Ingat sekali mimpi buruk itu menerjang di malam-malam panjang. Ketika kali pertama diumumkan gaji bulanan akan dipangkas. Menyusul sejumlah rekan yang dirumahkan. Gemetar. Khawatir. Terseret hingga alam bawah sadar. Makan tak selera. Emosi menjadi labil.
Saya tak siap. Bukan karena apa-apa, saya hanya khawatir tak lagi bisa menabung. Investasi. Dan membantu orang tua.
Saya lirik skill yang saya miliki. Saya tak pandai menulis. Membuat video juga tak cakap. Mengambil momen melalui lensa apalagi. Gusti, saya tak punya skill apapun yang layak dijual.
Saya menangis kala itu. Merajuk pada suami agar bisa ikut kursus meracik minyak aromaterapi. Saya butuh skill yang bisa dijual. Saya butuh hal baru yang membuat tak ketergantungan pada kantor.
Sebulan pandemi menghantam, gaji April langsung dipangkas. Tak ada tunjangan, apalagi THR. Gaji yang masuk betul-betul tinggal 200 ribu untuk pegangan satu bulan. Tak bisa menabung. Saya berpikir keras. Saya harus memulai bisnis. Tapi apa?
Seorang teman mengompori untuk ikut program Kartu Prakerja. Program yang nggak cuma bisa untuk pengangguran, tapi juga untuk pekerja terdampak Covid-19. Saya yang hanya sambil lalu pun malas mencari tahu. Tapi dengar-dengar ada biaya untuk pelatihan. Pelatihan online? OMG! Lucu!
Tapi saya lolos...
Saya dapat dana satu juta rupiah untuk membeli pelatihan. Saya beli tiga jenis pelatihan, salah satunya adalah membuat Fudgy Brownie.
Baking World
Saya tak pandai memasak. Tapi saya harus bertahan. Saya tak bisa mengandalkan nafkah suami. Saya perlu aktualisasi. Saya wajib istiqomah memberi.
Satu bulan trial error membuat Fudgy Brownie. Sungguh sama sekali tak mudah. Saya harus mengenali rasa, tekstur, wangi yang menggugah selera. Saya putus asa. Beberapa hari oven modal dari suami saya anggurkan. Saya frustasi. Saya benci memulai hal yang tak saya kuasai. Saya benci pandemi.
Tapi saya harus bertahan. Bisa saja saya tak lagi berpenghasilan.
Saya mulai utak-atik resep. Saya tinggalkan resep dari pelatihan. Uji coba ulang sampai rasanya diterima oleh keluarga. Tujuh kali mengulang. Mau nangis rasanya.
Awal November saya beranikan membuka pesanan. Orang terdekat yang mengawali. Berawal dari coba-coba, sepupu saya, Nina, malah ketagihan. Huhuhu, nangis lagi.
Dalam seminggu ada 30 box terjual. Lalu kini 1,5 bulan berjalan terjual 130 box. Untuk ukuran orang yang jarang di dapur, saya perlu mengapresiasi diri. Nggak mudah, Ya Allah. Sama sekali nggak mudah. Saya masih perlu banyak belajar. Agar bisnis Secubite Brownie semakin berkembang.
Apa kabar sekeliling? Mencibir? Banyak. Meremehkan? Nggak kehitung.
Sampai ada yang komentar, "Sudah jadi wartawan, jadi guru, sekarang jualan brownies. Segitunya cari uang."
Mendengarnya saya cuma mesem.
Ya Allah, saya cuma nggak mau berhenti memberi. Saya juga nggak mau cuma menunggu pemberian suami. Wanita harus berdaya. Dan berkarya.
Setidaknya, pandemi membuat saya belajar bagaimana cara bertahan. Tanpa ketergantungan.
Secubite Brownie in cup
Comments